Sekali Ekspor Bisa Meraup Rp24 Miliar

 

Bauksit, Batu Kuning yang Menggiurkan

Bauksit menjadi incaran semua pengusaha, karena nilainya menggiurkan. Dimanapun wilayah yang mengandung batuan alias emas kuning ini, pasti terus diburu sekalipun berada nun jauh di sana.

Mengisah soal bauksit, nama Pulau Bintan tak bisa dilupakan, khususnya Kota Kijang. Dari kota kecil inilah bauksit pertama kali ditemukan pada tahun 1924. Awalnya dikelolah perusahaan Belanda bernama NV Nederlansch Indische Bauxiet Exploitatie Maatschapij (NV NIBEM). Namun hanya sebentar, mulai tahun 1935 hingga 1942.      


Kemudian diambil alih oleh Jepang lewat perusahaan Furukawa Co Ltd. Itupun tak lama, hanya sekitar tiga tahun, dari 1942 sampai 1945 saja. Setelah Indonesia merdeka, barulah bauksit di kota penuh sejarah itu pindah tangan ke Pemerintah Republik Indonesia, mulai tahun 1959 silam. Saat itu yang mengelola PT Pertambangan Bauksit Indonesia (Perbaki). Perbaki kemudian dilebur menjadi PN Pertambangan Bauksit Indonesia yang berada di lingkungan BPU Pertambun. Dan tahun 1968 namanya berubah menjadi PN Aneka Tambang (Persero) yang kemudian menjadi PT Aneka Tambang Unit Kijang hingga saat ini. 


Khusus di Pulau Bintan, ada dua daerah yang membekas menjadi kawasan awal pertama kali bauksit diekplorasi. Selain di Kijang, ada juga Tembeling Kecamatan Teluk Bintan karena di dua daerah inilah, masih menyisahkan peninggalan rumah-rumah para pegawai PT Antam tempo dulu. Selain itu, wilayah yang memiliki kandungan bauksit sangat luas juga ada di Gunung Lengkuas, Busung, Toapaya, dan Ekang Anculai, serta di pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Timur. Potensi bauksit di seluruh wilayah tersebut diperkirakan memakan luas 10.450 hektare dengan jumlah candangan bauksit mencapai 209 juta meter kubik.


Sebelum otonomi daerah bergulir, PT Antam merupakan perusahaan yang memonopoli penambangan di Kijang. Namun sejak tahun 2002-2003, monopoli tak lagi berlangsung. Pihak swasta dibolehkan mengelolah bauksit di beberapa wilayah yang belum digarap. Sejak itulah ekplorasi besar-besaran di lakukan, termasuk di Kota Tanjungpinang, seperti di Dompak dan Senggarang. Sebagian besar bauksit yang diproduksi hampir seluruhnya di jual ke China.


Menambang bauksit tidaklah begitu sulit. Tapi ada hal awal, dan sangat pokok yang penting diperhatikan. Yakni mengkaji lebih dulu kandungan unsur almuniumnya (Al) dan kadar silikon-nya (Si). Karena tanpa mengetahui kadar kedua unsur itu, bisa-bisa bauksit yang diproduksi tak laku dijual, sesuai permintaan standar di pasaran internasional. Pengecakan kadar umumnya berlangsung di laboratorium Scufindo, dengan biaya per sample sekitar Rp900 ribu.


Bauksit dengan kualitas terbaik, mengandung unsur Al di atas 52, dan Si di bawah 10. Namun bauksit berkadar Al di atas 47 dan kadar Si-nya 13, juga laku dijual. Namun hanya negara China yang bisanya membeli dengan kadar rendah itu. Sedangkan negeri Sakura alias Jepang yang sudah membangun kerja sama jual beli bauksit dengan PT Antam sejak dulu, hanya menerima bauksit dengan kualitas terbaik tadi. ”Jepang beda sama China. Bauksit yang meraka ambil langsung diolah jadi bahan jadi, seperti logam mulia. Kalau China jadi bahan baku untuk beberapa produk turunan seperti bahan kosmetik,” kata Yudho, mantan karyawan PT Antam Kijang, kemarin.


Yudo yang lulusan ITB ini, sejak 9 bulan terakhir sudah mundur dari PT Antam dan kini mengabdi di salah satu perusahaan batu bara di daerah Kalimantan. Memang sejak awal tahun 2009 lalu, PT Antam Kijang sudah memasuki pasca tambang, dan menandakan kalau cadangan bauksit di Pulau Bintan sudah sangat menipis. Dan dijangkakan beberapa tahun ke depan akan habis. ”Bauksit yang bagus di Bintan itu sudah tak ada lagi,” tukas Yudho.


Tentunya, bauksit kualitas terbaik harga jualnya beda dengan kualitas rendah yang laku di pasaran. Menurut mantan Humas PT Lubindo Nusa Persada Mantang (LNPM), Hasriawadi, bauksit dengan kadar Al di atas 52 dan Si di bawah 10 pernah menembus angka 24 dolar AS per tonnya. Namun sejak harga pasaran dunia anjlok, terutama setelah taipan krisis global melanda, harganya turun drastis berkisar 14 sampai 18 dolar AS. ”Sekali ekspor biasanya 100 ribu ton, sesuai kapasitas kapal,” katanya.


Bayangkan bila harga bauksit pertonnya tembus 24 dolar AS, dengan asumsi per dolar AS Rp10.000. Hitung-hitung setiap kali ekspor, pengusaha bisa meraup Rp24 miliar! Pendapatan yang begitu besar, belum termasuk biaya operasional di lapangan, yang menurut Hasriawadi bisa sekitar 18 dolar AS per tonnya. ”Yang jelas, pengusaha tambang bauksit tak ada yang miskin. Untung satu dolar per ton saja mereka sudah meraup pendapatan besar,” ungkapnya.


Perusahaan tempat Hasriawadi bekerja adalah salah satu perusahaan swasta yang gagal menjual bauksit, akibat kadar Si-nya di atas 15. Gara-gara ini juga, perusahaan tersebut sejak 4 bulan terakhir tak lagi beroperasi dan merumahkan karyawannya. “Itu salahnya kami. Dari awal tak lebih dulu melakukan pengkajian kadar bauskit,” celetuknya. PT LNPM sendiri menambang di atas lahan lahan seluas 77 hektare, dan hanya 25 hektar dari luas itu yang memiliki kandungan bauksit. “Kini bauksit kita menumpuk saja di Pulau Mantang,” sebutnya.


Proses penambangan bauksit tidak terlalu rumit, hanya megambil lapisan tanah sekitar dua sampai maksimal 5 meter di bawah top soil. Lapisan itu tak langsung diangkut dan dijual, namun mengalami pemisahaan antara batu kuning yang bercampur tanah, dengan mesin tromol yang biasanya disiapkan dua hingga tiga unit per  areal tambang. Batu hasil pemisahan itulah yang dijual ke pasaran.


Yang pasti, bisnis bauksit sangatlah menggiurkan, meskipun cadangan bauksit di Pulau Bintan telah menipis, para pengusaha tak henti-hentinya memburu wilayah lain yang mengandung emas kuning tersebut. Salah satu contoh, di Kabupaten Lingga, hingga kini kabarnya sudah banyak para broker bauksit melakukan lobi ke masyarakat setempat untuk menguasai lahan mereka.

Sumber:

http://batampos.co.id/KEpri/KEpri/Sekali_Ekspor_Bisa_Meraup_Rp24_Miliar.html

Selasa, 2/6/2009, 1:58 PM